Selasa, 17 November 2009

Resensi Novel Casuarina

Oleh: MK. DILAGA


Sebuah peribahasa menyatakan : “Life is a dream walking, death is going home.”

Banyak orang menyatakan bahwa ketika meninggal dunia, maka secara spontanitas kita akan masuk kedalam alam keabadian, tetapi tidak begitu halnya dengan pendapat dari Asri Prabosinta. Dalam novel Casuarina, beliau mengungkapkan bahwa ada sebuah lorong yang menghubungkan antara alam nyata dan alam keabadian. Di lorong ini banyak pula ruh-ruh yang tersesat dan ingin kembali kedunia, merekalah yang disebut ruh marakayangan (gentayangan). Mereka biasanya adalah ruh-ruh yang mengalami kematian tidak wajar dan merasa harus menyelesaikan suatu urusan di dunia. Mereka berada di lorong penghubung batas alam nyata dan alam keabadian dan bermaksud kembali tetapi tiada sanggup untuk menghadirkan diri di dunia karena adanya keterbatasan bentuk, maka mereka yang termasuk roh marakayangan ini biasanya memberikan semacam tanda/firasat kepada mereka yang hidup agar urusannya dapat terselesaikan, baik itu melalui mimpi ataupun melalui penampakan, nampak disini adalah seperti bayangan yang tidak dapat diraba ataupun dirasa karena hakekatnya itu adalah ruh yang tak lagi mempunyai ruang.

Kisah dalam Novel Casuarina ini dimulai dengan sebuah kematian dari si tokoh “aku” yang selanjutnya diketahui bernama Jessica yang mati secara mengenaskan. Si Jessica ini ingin menyampaikan pesan kepada orang-orang yang dicintainya agar mereka mengetahui bahwa dia telah dibunuh dan menunjukan siapa yang telah membunuhnya.

Seperti ungkapkan dari peribahasa “Life is a dream walking, death is going home.”, bahwa kita pada mulanya berasal dari alam keabadian kemudian lahir ke alam nyata dan akan kembali pula ke alam keabadian. Inilah makna “going home” atau dalam bahasa keseharian kita mengenalnya dengan kata “dari asal akan kembali ke asal.” Maka diceritakan didalam Novel ini, Jessica yang sedang berada di lorong penghubung antara alam nyata dan alam keabadian, berpapasan dengan ruh kelahiran Sara. Maka ia memutuskan untuk menyampaikan pesannya lewat Sara, seperti perkataan Jessica “Seseorang harus ku temui. Hanya itu yang kupikirkan: Mendatangi bayi itu.”

Novel ini menyuguhkan sebuah misteri hilangnya Jessica dan berbagai macam kemungkinan tersangka dari tokoh lainnya. Semisal Jali yang pernah kehilangan pacarnya dan kemudian terobsesi kepada Jessica. Ada juga Brewok yang trauma akibat kehilangan keluarganya dalam tragedy kebakaran dan yang terakhir adalah Oom Willy, kontraktor yang membangun rumah Kayu milik keluarga Jessica.

Sara mulanya tak bisa mengenali bahwa ada yang memberikan bisikan/pesan disepanjang hidupnya. Tetapi ketika ia mulai datang ke Cijunjung, daerah tempat dimana Jessica di bunuh. Ruh Jessica lebih leluasa untuk menampakan diri hingga akhirnya ia mampu berinteraksi dengan Sara dan menampakan secara misterius keberadaannya di bawah pohon besar, dan kemudian mengajak Sara ke kediamannya di rumah kayu dekat sungai.

Sara mulanya tak menyangka kalau Jessica yang ditemuinya adalah ruh, kejanggalan ini ia dapatkan ketika ia dan ibunya melihat-lihat lukisan di gallery Albert (kekasih Jessica), dan keterangan Albert yang menyatakan bahwa Jessica telah hilang dan kemungkinan terbesar adalah Jessica telah meninggal 17 tahun yang silam.

Sara yang merasa bersimpati dan sayang kepada Jessica memutuskan untuk mencari keberadaan Jessica. Dibantu oleh kakak-kakaknya dan juga Dave serta Albert, Sara mengumpulkan informasi serta kemungkinan-kemungkinan yang melibatkan hilangnya Jessica, hingga akhirnya mendapatkan titik terang melalui sebuah Lukisan karya Albert yang dipajang di ruang tamu Oom Willy yang mengingatkan pertemuan Sara dengan Jessica. Sara dan yang lainnya mulai menyusun puzzle-puzzle misteri tersebut sehingga dapatlah diperoleh dugaan siapa yang menjadi dalang pembunuhan Jessica.


Alur, Penokohan, Latar, Gaya Bahasa dan Majas

Seperti kebanyakan Cerita Misteri, Novel ini pun menggunakan alur mundur, dimulai dari kematian si “Aku” dan selanjutnya mundur ke awal dari malapetaka itu yaitu kedatangan Jessica dan keluarganya untuk melihat pembuatan Villa barunya di Cijunjung, kemudian kedatangan si pembawa pesan Sara, lalu dilanjutkan dengan penyelidikan dan yang terakhir pengungkapan pelaku kejahatan. Tak ada tehnik yang spesial dari alurnya yang terkesan sudah umum digunakan satu-satunya yang cukup membuat terhentak dan memicu andrenalin adalah berita dari Albert tentang kematian Jessica kepada Sara. Disini pembaca akan diingatkan kembali tentang cerita awal kematian Jessica yang misterius (Bab Mimpi Indah yang Terwujud – Aku), dan mulai menerka-nerka siapa dan apa motivasi dibalik kematiannya? siapa yang melakukan pembunuhan keji itu? Dan siapa bayi yang didengar oleh sara? Apakah bayinya atau bayi orang lain?

Untuk penokohan, Asri Prabosinta cukup menguasai dan piawai menggambarkan karakter dan juga fisik dari para tokoh yang dihadirkan. Begitu juga latar dari cerita cukup detail. Walau di bab awal perihal kematian Jessica tak di jelaskan tentang kapan dan dimana Jessica dibunuh, tapi pada bab-bab selanjutnya dapat dimengerti alasan tidak adanya latar dan waktu terjadinya pembunuhan tersebut.

Gaya Bahasa dalam buku ini menggunakan bahasa yang bisa dibilang bahasa yang nyeleneh, cool, gaul dan ada di beberapa bagian yang menggunakan kata-kata puitis nan indah. Ini adalah salah satu ciri khas gaya penulisan dari Asri Prabosinta yang membedakannya dengan penulis lain yang kerap kali mementingkan bahasa Indonesia yang formal, dan kita tidak akan menemukannya dalam novel misteri ini. Novel ini terkesan santai dan mencerminkan kepribadian dari penulisnya yang terkesan nyeleneh dan ceplas-ceplos. Lihatlah contohnya dalam kata di halaman 14 : “Papi dan Mami hafal total diluar kepala, keduanya senang berantem….” Begitulah cara Asri Prabosinta memaparkan cerita, sebuah pemaparan yang aneh dan bisa dibilang tidak lumrah dalam pendeskripsian sebuah novel misteri. Tapi sekali lagi, mungkin itulah ciri khas sang penulis.

Di dalam penggunaan majas terlihat ada kejanggalan dalam istilah “seperti air di daun talas.” (halaman 30), terasa kurang tepat untuk mengungkapkan perbuatan Davy yang kerap kali menengok ke arah Albert atau ke arah Jessica ketika melihat mereka berbicara, istilah ini kerap digunakan untuk orang yang tidak punya pendirian. Sedangkan Davy adalah bukan seseorang yang tidak punya pendirian hanya saja saat itu dia terkesan ingin lebih fokus menyimak pembicaraan antara Albert dan Jessica. Kiranya penulis dapat mencari perbandingan/majas lain yang digunakan untuk mengungkapkan perbuatan Davy tersebut semisal memakai istilah “seperti menonton pertandingan bola pingpong.”


Pesan dari Novel Casuarina

Banyak pesan yang dapat kita peroleh dari membaca Novel Casuarina, Novel ini membawa pesan moral bahwa seburuk-buruknya menyimpan kejahatan pada akhirnya akan terbongkar juga, dan juga ada harapan dari penulis bahwa kematian itu sesungguhnya adalah sebuah moksa atau lepasnya ruh dari badan. Badan boleh saja hancur tapi ruh akan tetap berada dalam keabadian. Dan setelah berhasil melewati proses kematian segala rasa sakit akan binasa. sesuai perkataan Jessica :

“Luka dileherku kini tidak meninggalkan rasa sakit sedikitpun..” (halaman 9)

“Ketika malam, kalau rembulan menyinari sungai, rasanya seperti keabadian,..” (halaman 225)

“…Aku tahu selanjutnya akan kujumpai kedamaian dan ketenangan yang abadi di dunia hening bercahaya emas keperakan itu.” (halaman 228)


Kesimpulan

Melihat dari tema, isi dan pesan dari Novel ini, maka Novel Casuarina ini dirasa cukup bagus untuk dibaca. Dengan gaya bahasa Asri Prabosinta yang cool, gaul dan nyantai diharapkan pembaca dapat membaca Novel ini dengan suasana yang santai pula dan ditemani secangkir kopi hangat yang akan membantu kita memasuki alam ruh dari Novel Casuarina yang bergerak dari satu kondisi ke kondisi lainnya, dari satu maqom ke maqom lainnya, dari satu keadaan ke keadaan lainnya.

Didalam Novel ini, kadang-kadang kita akan merasakan sesuatu yang lucu yang membuat kita tersenyum geli membaca tingkah laku dari tokoh-tokohnya, dan kadang-kadang pula ada bagian yang membuat kita sedih, tegang atau mencekam, hingga jantung kita terasa berdetak lebih kencang.

Hidup adalah seperti meminum secangkir kopi hangat, ada rasa manis ada pahit, tapi karena rasa itulah secangkir kopi hangat terasa sangat nikmat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar