Minggu, 20 Desember 2009

Anak Langit

melalui penyatuan tujuh lapis langit itulah akan lahir anak langit
yang ku utus ia sebagai sumber harapan seluruh mahluk bumi.
pabila waktunya tiba akan aku angkat ia kembali kepadaku
dan ku tempatkan ia disisiku.




Banyu, demikianlah ku sebut namanya. Lelaki muda dengan segudang kebaikan. Beliau adalah seorang pengembara yang selalu mensyiarkan ajaran langit kepada para penghuni bumi. Dengan kehadirannya manusia seolah menemukan malaikat,

Dengan datangnya beliau disuatu tempat maka akan makmurlah tempat tersebut, karena itu raja dunia mengharapkan kehadirannya, dan setiap manusia mengelu-elukannya.

Pernah ku ingat suatu ketika ada hutan yang terbakar api dengan kobaran yang besar, Banyu di undang datang oleh seorang ketua adat untuk memadamkan kobaran api itu,. Benar saja, ketika kedatangannya, api itu segera sujud merebah dan merendah hingga akhirnya padam.

Ku dengar kabar juga disuatu negeri sedang ditimpa kelaparan, tak ada tumbuh-tumbuhan yang hidup, meranggas dibakar cahaya matahari, begitu juga hewan-hewan mati, hingga akhirnya seorang pawang yang sakti memanggil Banyu dengan ilmu telepati hingga tahulah ia bahwa di negeri itu sedang memerlukan bantuannya. Beliau datang dan membereskan masalah tersebut.

Begitu tersohornya hingga ditiap-tiap rumah seolah Banyu adalah telah menjadi bagian dari keluarga yang selalu mereka perhatikan dengan menyimpan namanya ditiap-tiap wadah dan diambil aura positifnya untuk kemakmuran mereka.

Tapi, hal itu tidak berlangsung lama, ketika raja dunia yang iri dan demi kepentingann pribadinya berusaha untuk menyingkirkan Banyu karena Banyu dianggap sebagai saingannya untuk menjadi ia sebagai raja yang paling tersohor dan dihormati.

Raja memanggil penasehat kerajaan untuk meminta nasehatnya tentang usaha untuk menghancurkan kepopuleran Banyu, atau kalau bisa membinasakannya.

“Wahai penasehat tahukah engkau, bahwa aku hendak menyingkirkan Banyu. Karena seluruh manusia telah menganggapnya rasul. Dan tahukah engkau bila di dunia ini ada rasul maka peringkat raja akan menjadi nomer dua bagi rakyat.” Berkatalah raja dunia.

“Benar sekali Baginda, hambapun beranggapan demikian. Menurut hamba memang susahlah untuk membinasakan ia, karena Bagindapun tentu tahu Banyu sungguh tiada bandingannya. Bahkan panasnya api pun takluk padanya.” jawab penasehat.

“Lantas bagaimana seharusnya?” Tanya raja tersebut.

“Menurut hamba hendaklah kita seolah berbaik-baikan saja dahulu dengan dia, hingga kita mengenal sifat dan kelemahannya.”

Maka diundanglah Banyu dalam suatu acara perjamuan akbar hingga senanglah hatinya

Raja berkata kepada rakyat-rakyatnya : “Wahai rakyatku maksudku mengadakan perjamuan ini adalah untuk menghormati jasa-jasa dari Banyu sebagai bagian dari kita semua. Ia adalah seorang utusan Tuhan yang mengendap ke bumi hingga ke dasar perut bumi, karenanya terciptalah segala macam kemakmuran dan berkat ia pulalah kita dapat melihat perwajahan* Tuhan . Maka mulai saat ini aku angkat dia sebagai satu kedudukan dengan ku.

Hingga akhirnya didapatlah tipu muslihat untuk membinasakan Banyu, yaitu dengan racun. Raja itupun menciptakan bangunan untuk membuat raja racun yang diracik dari 1000 macam racun dengan dalil untuk mensejahterakan rakyat. Maka dari racikan racun tersebut seolah tercipta dua mata uang logam, di satu sisi memang menghasilkan 1000 macam kebaikan dan di sisi lain menghasilkan 1 macam jenis racun baru yang disebut LIMBAH, raja dari segala racun.

Ketika disuatu saat limbah racun yang mempunyai mata setan itupun di alirkan ke sungai tempat dimana Bayu sedang mengisi waktu senggangnya dengan bermain dengan ikan-ikan. Tiba-tiba saja ikan-ikan menggelepar, dan Bayu sekarat penuh penderitaan, penderitaannya memancar kepenjuru negeri hingga alam raya menangis, hewan bergelimpangan dan mayat-mayat manusia berserakan

“Wahai penguasa langit, mereka telah mendustai aku. Maka angkatlah aku setelah kematianku !” Begitulah ratapan Banyu

maka terangkatlah doanya kelangit, dan Penguasa langitpun mengutus Mentari untuk menjemput jasad Banyu ke angkasa.

Dengan cahayanya Mentari berkata : “Wahai Banyu, Sang Penguasa langit telah mendengar ratapmu. Tapi engkau belum waktunya bila harus kembali ke haribaan-Nya. Kematianmu yang haq adalah ketika hari kegoncangan, hari penghancuran semesta. Maka ku hanya bisa mengangkat Jasadmu hingga ke permukaan langit, engkau dapat menyentuh muka langit tapi engkau tidak dapat masuk ke dalamnya, maka disanalah ruh-mu akan dikembalikan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berfikir.

Maka matilah Banyu sebagai seorang syuhada dan seluruh alam seolah bersedih melepaskan kepergiannya. alam menjadi pucat pasi dengan meminjamkan warnanya membentuk titian pelangi untuk menghantarkan jasad Banyu ke langit.

Sesampainya di langit, titian pelangi pun menghilang, warnanya berpendar kembali kepada para pemiliknya di Bumi

Jasad Banyu yang telah terkontaminasi oleh racun itupun berubah menjadi awan hitam, semakin pekat, pekat dan akhirnya sesuai keputusan dari penguasa langit, ruh Banyu pun dikembalikan serupa halilintar yang menggelegar, Dan pada akhirnya Banyu pun kembali menjadi Banyu, seorang rasul yang memberi peringatan kepada manusia dengan menenggelamkan dunia dengan banjir besar, dan memberi peringatan kepada yang masih hidup bahwa tidak dibenarkan membunuh para rasul, apapun bentuk dari rasul itu.

___________________
* Penampakan yang menjadikan yakin akan ada-Nya

Selasa, 15 Desember 2009

Ketika Puisi dipertuhankan

KETIKA PUISI DIPERTUHANKAN

(Tinjauan Ilmu Sastra dan Konsep Akidah Keislaman)


Oleh :

Miftahur Rahman el-Banjary*

( Tim Milis Word Smart Center , Cairo )



Pada mulanya artikel ini hanya berupa tanggapan terhadap artikel "Puisi adalah Tuhan" yang ditulis oleh Mbah Kuntet Dilaga. Oleh karena itu, saya mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada beliau yang telah berkenan menuangkan gagasan pemikiran yang begitu menginspirasi untuk berpikir. Ketika saya mulai menulis, terbesitlah gagasan-gagasan baru yang harus saya ungkapkan, sehingga jadilah sebuah artikel singkat ini. Saya anggap tema ini menarik sebagai diskusi sastra kali ini. Sekali lagi, artikel ini hanyalah merupakan gagasan-gagasan penguatan dari artikel sebelumnya, yang masih perlu kita perbincangkan dan diskusikan lagi selanjutnya. Dengan harapan, semoga milis WSC ini menjadi lebih cerdas, kreatif, dan aktif membicarakan fenomena-fenomena sastra, sesuai dengan misi WSC yang tertuang pada konsep kedua, Gerbang Batu.


Menanggapi pernyataan 'sahabat penyair' yang mengatakan, "Puisi adalah Tuhan". Sekilas jika dilihat dari pernyataan tersebut, tampaknya terkesan provokatif, dan menggambarkan betapa sang pujangganya sangat tergila-gila pada puisi, sehingga sang pujangga sampai menempatkan puisi pada posisi sederajat dengan Tuhan. Atau bahkan, menafikan eksistensi ketuhanan. Wallahu 'alam. Saya mencoba membahas kasus diatas dengan tema yang tak jauh berbeda, "Ketika Puisi Dipertuhankan" . Tampaknya tema ini sesuai dengan realita kehidupan 'seniman tertentu' yang mengatasnamakan kebebasan berkreasi dan tak perlu mengindahkan aturan-aturan normatif, sehingga seringkali kebenaran menjadi sesuatu yang nisbi. Agar pembahasan ini lebih obyektif, maka saya akan membahasnya dari dua aspek. Pertama, tinjauan psikologis sastra atau dalam istilah sastra Arab disebut dengan manhaj nafsiyyah. Dan yang kedua adalah tinjauan akidah keislaman atau aqidah Islamiyah secara singkat.


Mengawali pembahasan kajian sastra ini, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang tahapan perkembangan daya nalar seorang sastrawan. Awalnya puisi tercipta dari hasil perenungan dan pemikiran mendalam. Ketika manusia mulai merenung, dan terus berpikir, maka ia akan menangkap suatu titik 'sinyal kesadaran', yang disebut dengan inspirasi. Inspirasi yang melahirkan suatu keindahan, seringkali kita sebut dengan seni. Dan seni yang lahir dalam bentuk rangkaian kata-kata yang sarat dengan makna, biasanya disebut dengan puisi, sajak, atau syair, dan pelakunya kita sering sebut pujangga atau penyair.


Biasanya inspirasi puisi muncul dari fenomena-fenomena alam atau kondisi sosial di sekelilingnya. Misalnya, melihat burung yang terbang melayang di langit, maka muncullah gagasan untuk membuat puisi tentang kebebasan. Terciptalah sebuah puisi, misalnya, "Aku ingin terbang seperti burung." Tahapan semacam ini, masih berpusat pada tataran realita sosiologis, artinya puisi-puisi yang dihasilkan lebih bersifat fakta kehidupan, baik itu merupakan reaksi atau pun kritik sosial, maupun pesan-pesan moril yang mengandung etika atau estetika dalam kehidupan bermasyarakat.


Pada tahapan selanjutnya, manakala seorang penyair atau pujangga hanyut tenggelam dalam 'lautan inspirasi', maka pada saat-saat tertentu nalarnya tidak lagi terbatas pada hal-hal yang kongkrit saja, dan mulailah daya nalarnya mulai masuk ke wilayah metafisika yang bersifat transcendental. Ketika ia semakin dalam menyelami samudera puisi tersebut, disanalah sang pujangga nantinya menemukan 'mutiara-mutiara' hikmah yang mulai tersingkap. Pada saat itu, yang ia rasakan hanyalah keterpukauan dan keterpesonaan yang melampaui jangkauan nalar dan logikanya sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan imajinasi. Dan di saat seorang pujangga sudah mencapai titik puncak keterpesonaan tertinggi, atau imajinasi tingkat tinggi, maka konsekuensinya akan mengakibatkan kondisi jiwa yang tak terkontrol dan berada di bawah titik alam sadar. Inilah yang dalam istilah dunia sufi disebut dengan istilah sakar atau sepadan dengan makna mabuk atau sakau. Ia asyik dengan dirinya sendiri bersama dunia lain.


Manakala sang pujangga tersebut mencoba mengungkapkan fenomena keterpukauanya tersebut, ternyata bahasa lisan sudah tidak mampu menterjemahkannya, kecuali hanya dengan isyarat atau simbol-simbol saja lagi. Pada kondisi semacam ini, terkadang muncullah ungkapan-ungkapan puisinya yang 'aneh', sulit untuk dipahami, membuat kebingungan orang yang mendengarnya, terkesan 'nyeleneh', bahkan bisa menimbulkan salah kaprah yang berujung fitnah, sebagaimana puisi-puisi kontraversial penyair-penyair sufi, semisal al-Hujaj dan Ibnu Araby. Yang ingin saya sampaikan disini adalah, bahwa dalam dunia sastra ada kondisi-kondisi psikologis tertentu yang menuntut sang pujangga harus 'berbahasa kontraversial untuk mengungkap rasa.'


Namun, dari tinjauan konsep aqidah Islamiyyah berbeda, ada norma-norma dan aturan yang membatasi. Dengan pengertian sederhana, ungkapan ekspresi jiwa seorang pujangga dalam bingkai 'keterpesonaan' sah-sah saja, selama tidak menyangkut batasan akidah. Kasus ungkapan "Puisi adalah Tuhan" ini misalnya, sudah termasuk dalam bentuk pengingkaran eksistensi ketaudihan Sang Pencipta Yang Maha Esa, yang dalam bahasa agama disebut syirik. Jadi, jelaslah bahwa ungkapan seperti tersebut diatas, sama sekali tidak dibenarkan dalam konsep tauhid, baik ungkapannya secara hakiki atau maknawi, baik secara tersurat atau tersirat, bahkan majazi sekalipun. Dan jelas-jelas bertentangan konsep ajaran Islam.


Secara tegas Allah swt mengecam orang-orang yang mensekutukannya dengan makhluk yang lain. Kita bisa merujuk ke surah Al- Imran: 64, surah a-Nisa: 36, al-An'am: 19, al-'Araf: 33, Yusuf: 38, al-Hajj: 26, Luqman: 13, Ghafir: 42, al-Ahqaf: 4, al-Qalam: 41, al-Jin: 2. Mengumpamakan Allah dengan sesuatu benda atau mahkluk merupakan bentuk syirik, baik itu secara 'itikad, perbuatan, maupun perkataan. Penjelasannya telah dijelaskan panjang lebar oleh Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary dalam kitab "Fasaidul Aqaid".


Argument 'sahabat penyair' yang mengatakan bahwa ketidakmampuan puisi itu diraba, namun ada secara eksistensinya, tidak dapat dijadikan dalil ketuhanan. Secara ilmu mantik saja, logika tersebut sudah bisa terbantahkan dengan analogi iblis, syetan, jin, malaikat, surga dan neraka yang secara eksistensinya juga ada, dan tidak dapat diraba secara materi. Lantas apakah setiap sesuatu yang ada eksistensinya, namun tidak dapat raba materinya dapat disebut Tuhan? Tentu tidak bisa, bukan? Sama halnya dengan akal, pikiran, khayalan, roh, udara, benda-benda abstrak lainnya, juga ada secara eksistensi, namun tidak bisa diraba. Puisi adalah hasil inspirasi dan kekuatan daya imajinasi. Dapatkah kita meraba insprasi? Tentu tidak, sebab ia bukan materi. Dengan demikian, tidak semua yang tidak bisa diraba itu disebut Tuhan!


Puisi adalah bahasa jiwa dan bahasa rasa. Sedangkan bahasa adalah ciptaan Tuhan. Setiap ciptaan Tuhan adalah makhluk. Dan makhluk tidaklah pantas disebut dengan Tuhan, dan tidak pantas pula dipertuhankan. Tidak ada sifat-sifat ketuhahan yang terdapat dalam puisi, bahkan menyerupai sifat-sifat ketuhanan sekalipun tidak sedikitpun menyerupai. Maha suci Allah dari segala bentuk penyerupaan! Oleh karena puisi adalah hasil inspirasi, daya akal manusia, maka ia bukan pula ilham apalagi wahyu. Lantaran ia bukan wahyu, maka tidak ada kebenaran mutlak di dalamnya.


Inspirasi masih berada pada tataran akal, namun ilham dan wahyu berada tataran transdental ilahiyyah. Pada prakteknya, akal masih melakukan pertarungan dengan nafsu angkara murka. Terkadang akal yang menang terhadap nafsu, dan sebaliknya nafsu yang menguasai akal. Lantaran puisi adalah karya akal manusia, maka ia semata-mata tidak akan mampu menunjukkan kepada cahaya kebenaran ilahiyah, sebab masih ada kabut nafsu yang menyilimutinya. Dengan demkian, ketika puisi 'dipertuhankan' , maka jadilah ia budak akal dan sekaligus nafsunya. Inilah alasannya mengapa Imam al-Ghazali menentang pemikiran Ibnu Araby yang menempatkan logika diatas wahyu. Wallahu'alam.


Sumber inspirasi :

-Al-Qur'an al-Karim

-Fasaid al-Aqidah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary

-Tahafut Falasifah, Imam Ghazali.

- Manahij Naqd al-Adab, Dr. Shalah Fadhil.

-Asalib as-Sya'ri al-Mu'ashir, Dr. Shalah Fadhil.

Senin, 14 Desember 2009

Puisi adalah Tuhan

Seorang sahabat penyair menyatakan “ Puisi adalah Tuhan” karena ia mempunyai sifat-sifat ketuhanan; ada tapi tak dapat di raba.

Tapi benarkah puisi adalah Tuhan ? tentu saja jawabannya, bukan. Puisi lebih condong kepada pewahyuan dari suatu perjalanan bathin seorang penyair yang datang baik secara spontan ataupun lewat perenungan yang dalam terhadap suatu peristiwa yang menimpa diri dan sekitarnya.

pewahyuan ini di peroleh lewat alam sadar ataupun lewat alam tak sadar. Jadi bisa di katakan puisi adalah Kitabullah, mulanya kitabullah itu tersirat (tersembunyi) kemudian datang/diketemukan, dan pada proses selanjutnya menjadi tersurat (tertulis).

Segala sesuatu yang dicipta oleh Tuhan adalah ciptaan dan bukan Tuhan, Al-Kitab (Jabur, Taurat, Injil dan Al-Quran) adalah firman Tuhan, firman bukanlah Tuhan. Nur Muhammad (cahaya semesta) berasal dari Cahaya Tuhan, tapi bukan Tuhan, Kalimatullah (Isa as) adalah Kalimat-Nya tapi bukan Tuhan karenanya Allah pun menguatkannya dengan Ruhul Quddus, kenapa dikuatkan? Karena segala ciptaan itu hakekatnya lebih lemah dari yang mencipta. Allah itu ada dengan sendirinya sedangkan selain dari Allah (Mahluk) adalah ada dengan di cipta (di adakan).

“Ah, puisiku melampaui aku!” mungkin kita pernah terperangah dengan salah satu puisi yang kita buat ternyata puisi tersebut mempunyai daya kekuatan melebihi dari pengetahuan penyair pada saat menuliskannya, ternyata puisi-puisi tersebut mempunyai karakter/sifat yang lebih dari apa yang pernah terlintas pada saat di buat, dan rahasia sebuah puisi tersebut baru nampak ketika (pembaca) mulai menyelami lautan puisi tersebut, barulah nampak isi dari samudra, bahwa bukan hanya ikan dan kerang yang ada disana tetapi juga mutiara. Itulah daya magic dari suatu puisi, itulah ruh dari puisi dan setiap ruh akan mengalami kondisi kejiwaannya sendiri, itulah kenapa seorang pembaca mungkin akan menemukan makna yang beda/pun lebih dalam penafsirannya dari si penulis karya.

Puisi pada dasarnya adalah sudah ada, seorang penulis puisi adalah penemu tapi bukan pencipta, puisi itu semisal burung-burung yang beterbangan di angkasa, maka siapa yang mempunyai akal maka akan dapat menangkapnya, ataupun seperti harta yang tersembunyi di semesta, siapa yang menemukannya maka ia akan kaya. Karenanya banyak pula para penyair yang menemukan puisinya di alam ini; di batu, air, udara, kayu, gunung dsb, ataupun didalam dunia yang tak nampak seperti kesedihan, rasa senang, cinta dan lain sebagainya.

Bila puisi yang terlahir adalah sebuah Wahyu tanpa Nabi *), dan bila didalam sebuah puisi tersebut ditemukan sebuah pengajaran (ilmu) yang baik kenapa tidak kita petik hikmah dan kemudian memakannya?

Kolonglangit, 28 Februari 2009


_________________
*) Wahyu tanpa Nabi = mengutip teoritis dari Hudan Hidayat