Jumat, 21 Mei 2010

Si Latung Mencari Sayap

Di masa lampau semua serangga tidaklah bersayap seperti masa sekarang. Mereka berjalan dengan kaki dan sebagian lagi merayap. Mereka yang mempunyai sayap dianggap sebagai binatang suci karena sudah mendapatkan kewaliannya sebagai hewan.

Sahdan, seekor ulat kecil sedang mencari jati diri. Ia merasa berbeda dengan teman-temannya. Kulitnya yang putih bersih sangat kontras dengan saudara-saudaranya yang cenderung berwarna-warni, jelek dan berbulu. Kebanyakan ulat-ulat itu teramat rakus memakan daun-daun. Teman-temannya menamai ia dengan Latung (ulat yang beruntung)

Ulat kecil ini selalu berfikir alangkah hina binatang-binatang yang memakan makanan melebihi kadar tubuhnya sehingga mereka menjadi gendut dan tak akan ada lagi kemungkinan untuk terbang. Maka ia pun berniat untuk menunjukan kepada mereka bahwa ia adalah ulat terbaik yang pernah diciptakan oleh Tuhan.

Ulat kecil berkehendak pisah dari ulat-ulat lainnya dan mulai menuruni cabang demi cabang.

“Hendak kemana engkau Latung?” bertanya temannya

“Aku hendak mengembara dan suatu saat aku akan menjadi wali bagi kalian, aku akan terbang di atas kalian dan kalian akan menghormati aku melebihi sekarang ini. Aku tahu kalian semua mencintaiku tapi aku harus pergi untuk meraih keyakinanku sebagai hewan yang ditakdirkan sebagai hewan suci seperti yang telah ditulis di kitab-kitab suci.”

“Tapi Latung… Kita sebagai ulat pantang untuk menyentuh tanah karena di permukaan tanah adalah seperti bara yg memakan kayu. Kita akan mati di lahap binatang-binatang buas.”

“Ah, akan ku lawan mereka. Aku tidak takut terhadap apapun. Aku akan buktikan pada kawan-kawan akulah yang akan memakan mereka.”

“Terserah kau saja kalau begitu, yang pasti kami akan merindukanmu Lat.”

“ Baiklah, aku pamit.”

Maka dilanjutkanlah perjalanannya menuruni pohon, yang biasa menjadi tempat ia dan kawan-kawannya bermain dan memakan dedaunan. Maka sampailah ia ditanah.

Ada sedikit keraguan kala ia melihat tanah terlihat debu-debu mengepul seperti asap panas yang menyelimuti tanah.

Ingin rasanya ia kembali ke atas pohon dan kembali kepada teman-temannya. Tapi rasa malu akan ditertawakan telah mengembalikan tekadnya untuk melanjutkan pengembaraannya.

“Oke, pendirianku harus teguh.” Begitu ucapnya dalam hati dan kaki-kaki kecilnya satu persatu mulai menginjak tanah.

“Ah, ternyata tak terjadi apa-apa.” Begitu pikirnya.

Ia pun mulai melangkahkan kakinya

Seiring dengan tergelincirnya mentari yang semakin ke tengah lama kelamaan tanah yang di injaknya semakin panas dan membuat kaki-kaki kecilnya mulai melepuh hingga akhirnya ia hanya bisa merangkak sambil merintih kesakitan.

“Ya Tuhan kenapa kau lepuhkan kakiku, lalu bagaimana aku bisa menempuh perjalanan bila kakiku seperti ini kalau kau tak segera memberiku sayap yang kokoh buatku. Maka matilah aku.” begitulah ratapnya.

Segerombolan rusa tiba-tiba berlari ke arahnya, sehingga ia pun bersusah payah untuk menghindar dari rusa-rusa yang sedang berlari itu. begitu pula kuda-kuda dan binatang-binatang lainnya dengan tidak memandang kehadirannya telah membuat ulat itu kepayahan.

“Dasar binatang-binatang bertulang, seenaknya saja menyepelekan aku. Awas ya kalian kalau ketemu lagi !” begitu gerutunya.

“ Ya Tuhan aku sudah buta, aku juga tak dapat berjalan, akupun sama sekali tak mampu lagi makan, karena dedaunan teramat tinggi untuk ku daki. Kalau memang aku kau takdirkan menjadi binatang suci, maka tunjukan aku jalan keluarnya. Aku kini sekarat ya Tuhan”

Iblis tiba-tiba saja menyelusup kedalam kalbunya. Mengambi kesempatan ketika ulat kecil itu menanti kematiannya

“ Wahai binatang yang teraniaya, aku akan menolongmu. Sesungguhnya Tuhanmu telah meninggalkanmu. Ia tak perduli lagi denganmu. Maka akan ku tunjukan cara agar kau tetap hidup dan kau bisa terbang sehingga kawan-kawanmu akan kagum dan menganggapmu orang suci. Bukankah itu yang engkau mau?”

“ Iya, tapi siapakah engkau?”

“Aku adalah Tuhan, Tuhanmu yang mengasihimu.”

“Apa yang mesti aku perbuat.”

“kau lihat bangkai rusa tua ?”

“ya..”

“makanlah dagingnya !”

“tidak, aku tidak mau. Aku tak pernah makan daging. Apalagi bangkai. Aku tak mau.”

“Kalau begitu bersiaplah menanti ajalmu dan semua impianmu akan menghilang seperti awan yang menjadi hujan.”

“Tapi, baiklah aku akan coba mendekatinya.”

Semakin dekat ulat itu mendekat, semakin tercium aroma busuknya bangkai. Maka muntahlah ia.

“Aku tidak sanggup.” Teriaknya

“Cobalah kau hampir berhasil, bukankah kau sudah mampu menahan diri untuk tidak berbuat rakus dahulu. Maka sekaranglah saatnya semua pengendalian diri itu kau gunakan. Tutuplah segala pintu indera dan kuatkan tekadmu.

Ulat kecil itupun mulai menutup seluruh indranya sehingga ia tak lagi merasakan bau. Dan mulailah ia menyentuh bangkai itu dimakanlah sedikit.

“oek..” ia pun muntah

“Wahai engkau, teguhkan hatimu. Bayangkan kau sedang memakan daun yang biasa kau makan.”

Maka mulailah dimakan sedikit demi sedikit daging itu hingga pada akhirnya ia terbiasa dan menikmatinya.

“Wahai Tuhanku, aku sungguh berterima kasih karena engkaulah aku kini dapat menyambung hidupku. Aku menagih janjimu untuk menjadikanku bersayap?”

“Baiklah Latung, bila kau hendak menjadi binatang suci maka makanlah sekuat kau mampu. Bila sudah sampai pada tahap kerakusanmu sebagai hewan maka kau akan menjadi seperti apa yang kau inginkan. Lampauilah sisi ke hewananmu !” perintah Iblis itu.

Maka latungpun semakin bergairah untuk menghabiskan bangkai itu. hingga pada akhirnya tubuhnya menghitam dan tumbuh pula kaki-kaki dan juga sayapnya. Itulah kebahagiaan terbesar yang ia nanti-nantikan. Meskipun kulitnya tak lagi putih, tapi ia yakin teman-temannya akan kagum dengan penampilannya yang sekarang.

“Inilah janji yang aku berikan, kau hanya bisa hidup dengan memakan kotoran dan bangkai. Dan mulai sekarang namamu adalah Lalat, karena engkau bukan lagi sejenis Ulat.”

Lalat pun mulai mengepak-ngepakan sayapnya terbang, terbang tinggi dengan riang seperti seekor burung yang telah lihai sambil mendengung-dengungkan kesombongannya.

“ngung.. ngung.. ngung..”

Sampailah ia di pohon tempat ia pernah tinggal. Alangkah kaget ia ketika tak didapat teman-temannya disana

‘Ah, kemana kiranya teman-temanku. Apakah mereka telah mati atau mereka menyusulku ketika aku pergi? ”

Tiba-tiba dilihatnya segerombolan binatang bersayap warna-warni terbang sambil bernyanyi-nyanyi riang melantunkan puja-puji keindahan.

“Wahai siapakah kalian binatang-binatang bersayap cantik dan tahukah kalian kemana perginya kaum ulat yang pernah tinggal di pohon ini?”

“Kami adalah kupu-kupu, kami adalah ulat-ulat yang pernah menempati pohon ini.”

“Apa.., “kagetlah Lalat

“bagaimana bisa bukankah kalian dulu begitu gemuk dan rakus tapi mengapa sekarang kalian bisa menjadi mahluk suci sepertiku?” sambungnya.

“Memang dulu kami rakus, memakan daun-daun dari pepohonan. Tetapi ketika kami tak lagi mendapati sehelai daun pun untuk kami makan, kami menjadi tersadar. Setelah itu kami semua tak lagi rakus dan menghentikan kerakusan kami dan berniat memperbaiki apa yang kami rusak hingga pada akhirnya Tuhan menganugerahkan kepada kami berupa sayap dan belalai. Sayap untuk kami terbang dan belalai ini agar kami lebih mampu membedakan makanan apa yang baik untuk kami makan. Ternyata kami memilih untuk menghisap madu yang ada di bunga. Karena niat kami semula adalah untuk menebus dosa kami maka secara tidak langsung kami telah menjadi wali Tuhan untuk menikahkan bunga-bunga. Sehingga muka bunga senantiasa berseri sepanjang musim dan menjadikan pepohonan berkembang biak.”

Tertunduklah lalat mendengar perkataan kupu-kupu itu. barulah ia tersadar dari angan-angannya, binatang suci atau wali bukanlah hanya karena punya sayap tetapi lebih cenderung kepada karunia Tuhan yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya,

Saat lalat berpikir. Bertanyalah kupu-kupu :

“Siapakah engkau sehingga tahu ihwal kami terdahulu?”

“Namaku lalat aku dahulu juga bangsa ulat, hanya aku pergi mencari kewalianku. Sedangkan bagi kalian kewalian itu mendatangimu. Lihatlah aku sekarang, tak pernah berhasil meraih kewalian, tak pernah menjadi binatang suci. Dan sekarang aku menjadi binatang menjijikan yang memakan bangkai dan kotoran dari awal sampai akhir hayat ini.”


Jakarta, 21 Mei 2010

Minggu, 17 Januari 2010

Bima dan Arimbi

: Cerpen ini ku persembahkan untuk Kekasihku Arimbi.


Namaku Bima tapi badanku tidaklah setegap Bima dalam kisah pewayangan, posturku langsing mirip layang-layang. Bila musim angin datang aku merasa diriku adalah sebuah layang-layang yang dimainkan anak-anak dipematang sawah. Mulanya aku senang terbang melambung, namun diakhir perjalanan tak luput dari putusnya benang hingga akupun menjauh dari pemilikku dan pada akhirnya terkoyak-koyak saat hujan datang.

Aku selalu yakin aku adalah titisan dari Bima seorang ksatria sejati, lelaki langit lelanang jagat. Tokoh wayang yang sangat aku kagumi.

Aku adalah seorang pemabuk yang menjadikan minuman keras sebagai teman karibku, bersamanya aku merasa kuat dan dapat melupakan segala kesedihan saat ditinggalkan oleh orang yang sangat aku cintai,

Ibuku meninggal karena TBC saat usiaku 7 tahun, sedangkan saat itu kami hanya tinggal berdua dipinggir rel kereta api di dekat stasiun Kota di wilayah Jakarta. Dan mengenai bapak, aku tak pernah merasa peduli walaupun ia telah tiada, toh aku belum pernah mengenal wajahnya. Kata ibu, bapak mati dibunuh preman pasar karena berebut lahan. Saat itu aku masih dalam kandungan.

Setelah aku lahir ibu menamaiku “Bima”. Kata ibu supaya aku tegar dengan kehidupan ini, dan ibu sering bercerita padaku, disaat mengandung ia bermimpi berjumpa dengan Raja Pandu Dewanata, seorang raja Astina. Saat itu ibu seolah-olah ada di sebuah istana yang sangat megah.

“Kuti, aku memanggilmu menghadap ke istanaku. Karena aku akan menitipkan kepadamu anakku yang bernama Bima. Jagalah ia dengan jiwa dan ragamu.”

Itulah cerita yang di ceritakan padaku. Kata ibu, aku haruslah mencontoh sifat-sifat dari Bima, agar kelak aku bisa menjadi Bima yang perkasa.

Waktu aku kecil, ibu selalu mengajarkanku agar jangan sampai melupakan Gusti Allah, harus rajin sholat dan ngaji supaya bisa mengenal diri sendiri, dan harus melindungi yang lemah agar aku bertambah kuat.

Tapi semenjak beliau meninggal, kesedihan telah mengubahku menjadi pribadi yang liar. Aku tinggalkan Gusti Allah, aku tak lagi ngaji, karena menurutku Gusti Allah tidak adil dengan mengambil satu-satunya yang berharga dihidupku. Semenjak itu aku mendewa-dewakan kekuatan, bagiku Bima adalah simbol dari kekuatan.

Ketika umurku 17 tahun, aku telah menjadi seorang preman yang paling berkuasa di Jakarta, penjahat-penjahat besar akan terkencing-kencing ketika berhadapan denganku, dan penjahat-penjahat kecil akan terbirit-birit ketika bertemu denganku. Aku sudah banyak mengenal mereka, berhadapan dan pada akhirnya aku menjadi guru bagi mereka,

Mereka datang meminta ilmu dalam bidang kejahatan. Belajar mencopet, menjambret, berkelahi, hanya membunuh yang tak aku ajarkan, karena aku belum sekalipun membunuh. Itulah sebagian ilmu yang aku berikan kepada murid-muridku para penjahat. Ah, rasanya aku benar-benar telah mewujudkan keinginanku menjadi Bima yang perkasa, seorang jagoan yang disegani di ibu kota Jakarta.

“Arum” itulah namanya, kembang lokalisasi. Aku begitu mencintainya, aku selalu cemburu ketika tiap malam ku bayangkan ia bergumul dengan lelaki lain, mendesah dan mencapai kenikmatan bersama laki-laki lain demi sekeping rupiah.

Aku kerap kali memintanya untuk berhenti menjadi seorang pelacur, dan memintanya menjadi istri yang baik untukku,

“Menikahlah denganku Rum, jadilah istriku? Kalau mengenai uang kau tahu sendiri aku tak pernah kekurangan uang. Kau tahu kan aku adalah penguasa jalanan.” itulah yang aku ucapkan untuk meyakinkannya.

“aku masih menikmati hidupku, bila waktunya tiba aku tentu mau. Cintaku hanya milikmu, Bim.” Itulah yang kerap dia ucapkan padaku, entah sebuah penolakan atau sebuah pengharapan. Aku tak pernah mengerti.

Pada suatu siang aku hendak menemuinya, rasanya rindu sekali hari itu. wajahnya begitu cantik dalam ingatanku seolah-olah sedang menari-nari dengan menggairahkan. Ah, ingin rasanya aku cepat-cepat sampai di tempat kosnya untuk melepas birahi bersama, memadu cinta dengannya layaknya suami istri.

Sesampainya di tempat Kosannya, ku ketuk pintunya. Belum sempat ketukanku sampai ke daun pintu, ku dengar desahan dua manusia berlainan jenis sedang memadu birahi.

“ Oh..yah..oh.. yah..” terdengarlah suara misterius di dalam.

“Bangsat !!!” gerutuku dalam hati.

Akupun segera mendobrak pintu itu hingga hancur.

“ Bimaa !!!.” seru Arum ketakutan ketika melihat aku berdiri di ambang pintu sambil mengobarkan amarah. Ku perhatikan sekeliling ruangan dan ku dapatkan Arum dan Beni salah satu anak buahku dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benang yang melekat di tubuh mereka.

Arum segera mengambil handuk yang ada di gantungan di samping tempat tidur dan kemudian memakainya, Begitupun Beni sedang berusaha keras memakai kembali celana dalam dan celana jeansnya.

“Arum, apa-apaan kamu apa yang kamu perbuat, sundel?.”

“Aku.. maafkan aku Bim. aku mencintai Beni, aku mencintainya...”

“Brengsek, kalian berdua telah berani menyia-nyiakan kepercayaanku.”

Amarahku meledak, diam-diam ku hunus pisau kesayanganku yang selalu ku bawa. Dan secepat kilat ku hujamkan pada tubuh Beni yang saat itu tidak siap untuk bertahan karena sedang sibuk mengenakan pakaian.

“Ah…” teriaknya ketika pisau itu menancap di jantungnya. Seketika itu matilah Beni dengan bersimbah darah.

Ku lihat Arum menggigil ketakutan, lemas di lantai tanpa mampu bersuara. Lalu segera ku cekik lehernya.

“Kau.. Kau..” kataku dengan mata merah, penuh amarah sambil bercucur air mata kepedihan.

Segera ku sabetkan pisau itu ke perutnya hingga terburailah semua isi perut dan kemudian ku gorok lehernya hingga tewaslah Arum, wanita yang aku cintai.

“Mampus kau pelacur….! hahahaha…” akupun tertawa terbahak-bahak dengan linangan air mata yang tak mampu ku bendung. Akupun berlari, lari menjauh dari kehidupanku, lari dari Arum, lari dari dunia yang telah melahirkanku menjadi seorang Bima yang di takuti.

Aku merasa telah diperkosa oleh kehidupan, tak ada lagi kekuatan, tak ada lagi Tuhan, tak ada lagi kekuasaan yang tertinggal hanyalah ketakutan, Aku hanya bisa berlari.. berlari.. berlari.. seperti seekor kijang yang diburu. Aku harus terus lari… Berlari tanpa henti… Tanpa henti…

Kala itu hari telah malam. Aku kecapaian dan tertidur di suatu teras bangunan. Di dalam mimpi itu aku berada di sebuah hutan belantara, disana kulihat aku mengenakan pakaian selayaknya seorang brahmana, di kiri kananku terlihat ke empat saudaraku Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan tentu saja aku sendiri, Bima.

Ku lihat juga bersama kami berlima terdapat seorang wanita, ia ibuku Kuti. Aku tak mungkin melupakan wajah penuh kasih itu. Ia ibuku.

“Ibu ?”

“Iya, anakku Bima, aku adalah Ibumu Kunti yang kau mengenalku dengan nama Ibu Kuti. Saat ini kita sedang berjalan didalam hutan dan pergi meninggalkan Istana kerajaan, Karena Istana telah didukuki oleh binatang-binatang. Ingatlah anakku jangan tertipu oleh perwujudan. Istana hakekatnya adalah hutan dan hutan hakekatnya adalah istana. Binatang kadang kala berada di Istana dan Manusia berada di dalam hutan. Ingatlah anakku. Jangan tertipu oleh kulit luarnya.”

“ Anak-anakku, aku tak membeda-bedakan diantara kalian. Kalian adalah tetap anak-anakku. Cintaku adalah pada kalian semua. Meski kalian adalah lima orang tapi dimataku kalian adalah satu.”

Mataku menangkap sesosok mahluk tinggi besar sedang mengintip kami.

“Keluarlah.” Seruku.

Ku lihat sesosok wanita bertubuh besar keluar dari rerimbunan.

“ Hormatku untukmu Ibu dan untuk kalian wahai para ksatria. Aku adalah Arimbi dari golongan Raksesi. Aku sudah memperhatikan kalian sejak masuk ke hutan ini. “

“ Hendak apa engkau puteriku Arimbi, memperhatikan kami?” Bertanyalah ibuku

“Ampun beribu ampun Ibu, hamba tertarik pada salah satu puteramu, yang bertubuh paling besar, dia membuat aku jatuh hati, Ibu.”

“ Dia adalah Bima.” Tersungging senyum ibu saat ia memperkenalkanku. Akupun seakan tersadar bahwa tubuhku saat ini adalah tinggi besar, beda sekali dengan keadaanku yang biasa dan nampak sangat gagah dengan pakaian seorang Brahmana yang aku kenakan. Kesombongankupun timbul.

“Wahai engkau raksesi, kau tak layak padaku. Aku adalah seorang anak raja dan engkau hanyalah seorang raksesi, mahluk hina dan menjijikan.”

Ku lihat Arimbi menangis dan berusaha pergi.

“Tunggulah dahulu putriku Arimbi, biar aku bicara dahulu dengan Bima, anakku.” Ibu mencegahnya.

Arimbi menghentikan tangisnya dan kembali duduk bersimpuh.

Ibu berkata padaku:

“Bima, tak layak engkau menolak Arimbi yang mencintaimu dengan setulus hati. terimalah ia. masih ingatkah engkau Bima, janganlah engkau melihat wujudnya sebagai seorang Raksesi, tapi lihatlah kecantikan dalam hatinya. Ia adalah wanita tercantik yang pernah Ibu kenal. Terimalah ia.”

“Tapi !!.” sergahku

“Bima, lihatlah dengan hatimu.” Hardiknya

Akupun mengheningkan cipta, mencoba mendengarkan sasmita, hingga tenanglah hatiku.

“ Baik ibu, aku menerimanya aku menerima Arimbi.” Kataku.

Seketika itu Arimbi memeluk Ibuku. Mereka berdua menangis dengan bahagia. Air mata ibu berpadu dengan tangisan Arimbi. Seketika itu Arimbi berubah menjadi wanita yang sangat jelita. Aku benar-benar terpesona melihat parasnya.

“ Bangun.. Bangun.. “ ku dengar suara lembut seorang wanita.

Akupun terbangun dari tidurku. mengucek-ngucek mata.

“ Bangun.., sudah waktunya Shalat Subuh.” Katanya lagi.

“Subuh..” ujarku.

“Iya, subuh.” Ucapnya lagi.

Mataku terbelalak ketika menyaksikan sesosok wanita cantik secantik bidadari yang aku kenal, mengenakan mukena sedang duduk didepanku berusaha membangunkan.

“Arimbi..!! kau..?” seruku.

“Iya, aku Arimbi, dari mana engkau tahu namaku?” tanyanya.

Aku hanya diam.

Ternyata aku tertidur di teras sebuah Mushola, aku segera mengambil air wudhu, dan melaksanakan sembahyang berjamaah yang sudah lama tak pernah lagi ku lakukan.

Saat ku tulis cerita ini, aku masih berada di penjara. Aku menyerahkan diri kepada yang berwajib dan dikenakan hukuman kurungan selama 7 tahun. Selama dipenjara Arimbi selalu setia menjengukku. Ia adalah kekuatan baru bagi hidupku, kekuatannya sangat besar melebihi kekuatan seorang Bima bahkan melebihi kekuatan seorang Raksasa sekalipun. Yakni kekuatan CINTA.

“Arimbi... Besok kita bertemu, sayang !” gumamku menjelang tidur.

Dalam angan, Ku lihat Arimbi tersenyum bangga menyambut Bima-nya yang perkasa bebas dari hukuman.

“Terima kasih Arimbiku, cintaku, kekasih hatiku. kau sudah mau menjadi bagian dari hidupku…

Met, bobo istriku…”

Akupun tertidur dengan senyuman tersungging bahagia…