Selasa, 15 Desember 2009

Ketika Puisi dipertuhankan

KETIKA PUISI DIPERTUHANKAN

(Tinjauan Ilmu Sastra dan Konsep Akidah Keislaman)


Oleh :

Miftahur Rahman el-Banjary*

( Tim Milis Word Smart Center , Cairo )



Pada mulanya artikel ini hanya berupa tanggapan terhadap artikel "Puisi adalah Tuhan" yang ditulis oleh Mbah Kuntet Dilaga. Oleh karena itu, saya mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada beliau yang telah berkenan menuangkan gagasan pemikiran yang begitu menginspirasi untuk berpikir. Ketika saya mulai menulis, terbesitlah gagasan-gagasan baru yang harus saya ungkapkan, sehingga jadilah sebuah artikel singkat ini. Saya anggap tema ini menarik sebagai diskusi sastra kali ini. Sekali lagi, artikel ini hanyalah merupakan gagasan-gagasan penguatan dari artikel sebelumnya, yang masih perlu kita perbincangkan dan diskusikan lagi selanjutnya. Dengan harapan, semoga milis WSC ini menjadi lebih cerdas, kreatif, dan aktif membicarakan fenomena-fenomena sastra, sesuai dengan misi WSC yang tertuang pada konsep kedua, Gerbang Batu.


Menanggapi pernyataan 'sahabat penyair' yang mengatakan, "Puisi adalah Tuhan". Sekilas jika dilihat dari pernyataan tersebut, tampaknya terkesan provokatif, dan menggambarkan betapa sang pujangganya sangat tergila-gila pada puisi, sehingga sang pujangga sampai menempatkan puisi pada posisi sederajat dengan Tuhan. Atau bahkan, menafikan eksistensi ketuhanan. Wallahu 'alam. Saya mencoba membahas kasus diatas dengan tema yang tak jauh berbeda, "Ketika Puisi Dipertuhankan" . Tampaknya tema ini sesuai dengan realita kehidupan 'seniman tertentu' yang mengatasnamakan kebebasan berkreasi dan tak perlu mengindahkan aturan-aturan normatif, sehingga seringkali kebenaran menjadi sesuatu yang nisbi. Agar pembahasan ini lebih obyektif, maka saya akan membahasnya dari dua aspek. Pertama, tinjauan psikologis sastra atau dalam istilah sastra Arab disebut dengan manhaj nafsiyyah. Dan yang kedua adalah tinjauan akidah keislaman atau aqidah Islamiyah secara singkat.


Mengawali pembahasan kajian sastra ini, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang tahapan perkembangan daya nalar seorang sastrawan. Awalnya puisi tercipta dari hasil perenungan dan pemikiran mendalam. Ketika manusia mulai merenung, dan terus berpikir, maka ia akan menangkap suatu titik 'sinyal kesadaran', yang disebut dengan inspirasi. Inspirasi yang melahirkan suatu keindahan, seringkali kita sebut dengan seni. Dan seni yang lahir dalam bentuk rangkaian kata-kata yang sarat dengan makna, biasanya disebut dengan puisi, sajak, atau syair, dan pelakunya kita sering sebut pujangga atau penyair.


Biasanya inspirasi puisi muncul dari fenomena-fenomena alam atau kondisi sosial di sekelilingnya. Misalnya, melihat burung yang terbang melayang di langit, maka muncullah gagasan untuk membuat puisi tentang kebebasan. Terciptalah sebuah puisi, misalnya, "Aku ingin terbang seperti burung." Tahapan semacam ini, masih berpusat pada tataran realita sosiologis, artinya puisi-puisi yang dihasilkan lebih bersifat fakta kehidupan, baik itu merupakan reaksi atau pun kritik sosial, maupun pesan-pesan moril yang mengandung etika atau estetika dalam kehidupan bermasyarakat.


Pada tahapan selanjutnya, manakala seorang penyair atau pujangga hanyut tenggelam dalam 'lautan inspirasi', maka pada saat-saat tertentu nalarnya tidak lagi terbatas pada hal-hal yang kongkrit saja, dan mulailah daya nalarnya mulai masuk ke wilayah metafisika yang bersifat transcendental. Ketika ia semakin dalam menyelami samudera puisi tersebut, disanalah sang pujangga nantinya menemukan 'mutiara-mutiara' hikmah yang mulai tersingkap. Pada saat itu, yang ia rasakan hanyalah keterpukauan dan keterpesonaan yang melampaui jangkauan nalar dan logikanya sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan imajinasi. Dan di saat seorang pujangga sudah mencapai titik puncak keterpesonaan tertinggi, atau imajinasi tingkat tinggi, maka konsekuensinya akan mengakibatkan kondisi jiwa yang tak terkontrol dan berada di bawah titik alam sadar. Inilah yang dalam istilah dunia sufi disebut dengan istilah sakar atau sepadan dengan makna mabuk atau sakau. Ia asyik dengan dirinya sendiri bersama dunia lain.


Manakala sang pujangga tersebut mencoba mengungkapkan fenomena keterpukauanya tersebut, ternyata bahasa lisan sudah tidak mampu menterjemahkannya, kecuali hanya dengan isyarat atau simbol-simbol saja lagi. Pada kondisi semacam ini, terkadang muncullah ungkapan-ungkapan puisinya yang 'aneh', sulit untuk dipahami, membuat kebingungan orang yang mendengarnya, terkesan 'nyeleneh', bahkan bisa menimbulkan salah kaprah yang berujung fitnah, sebagaimana puisi-puisi kontraversial penyair-penyair sufi, semisal al-Hujaj dan Ibnu Araby. Yang ingin saya sampaikan disini adalah, bahwa dalam dunia sastra ada kondisi-kondisi psikologis tertentu yang menuntut sang pujangga harus 'berbahasa kontraversial untuk mengungkap rasa.'


Namun, dari tinjauan konsep aqidah Islamiyyah berbeda, ada norma-norma dan aturan yang membatasi. Dengan pengertian sederhana, ungkapan ekspresi jiwa seorang pujangga dalam bingkai 'keterpesonaan' sah-sah saja, selama tidak menyangkut batasan akidah. Kasus ungkapan "Puisi adalah Tuhan" ini misalnya, sudah termasuk dalam bentuk pengingkaran eksistensi ketaudihan Sang Pencipta Yang Maha Esa, yang dalam bahasa agama disebut syirik. Jadi, jelaslah bahwa ungkapan seperti tersebut diatas, sama sekali tidak dibenarkan dalam konsep tauhid, baik ungkapannya secara hakiki atau maknawi, baik secara tersurat atau tersirat, bahkan majazi sekalipun. Dan jelas-jelas bertentangan konsep ajaran Islam.


Secara tegas Allah swt mengecam orang-orang yang mensekutukannya dengan makhluk yang lain. Kita bisa merujuk ke surah Al- Imran: 64, surah a-Nisa: 36, al-An'am: 19, al-'Araf: 33, Yusuf: 38, al-Hajj: 26, Luqman: 13, Ghafir: 42, al-Ahqaf: 4, al-Qalam: 41, al-Jin: 2. Mengumpamakan Allah dengan sesuatu benda atau mahkluk merupakan bentuk syirik, baik itu secara 'itikad, perbuatan, maupun perkataan. Penjelasannya telah dijelaskan panjang lebar oleh Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary dalam kitab "Fasaidul Aqaid".


Argument 'sahabat penyair' yang mengatakan bahwa ketidakmampuan puisi itu diraba, namun ada secara eksistensinya, tidak dapat dijadikan dalil ketuhanan. Secara ilmu mantik saja, logika tersebut sudah bisa terbantahkan dengan analogi iblis, syetan, jin, malaikat, surga dan neraka yang secara eksistensinya juga ada, dan tidak dapat diraba secara materi. Lantas apakah setiap sesuatu yang ada eksistensinya, namun tidak dapat raba materinya dapat disebut Tuhan? Tentu tidak bisa, bukan? Sama halnya dengan akal, pikiran, khayalan, roh, udara, benda-benda abstrak lainnya, juga ada secara eksistensi, namun tidak bisa diraba. Puisi adalah hasil inspirasi dan kekuatan daya imajinasi. Dapatkah kita meraba insprasi? Tentu tidak, sebab ia bukan materi. Dengan demikian, tidak semua yang tidak bisa diraba itu disebut Tuhan!


Puisi adalah bahasa jiwa dan bahasa rasa. Sedangkan bahasa adalah ciptaan Tuhan. Setiap ciptaan Tuhan adalah makhluk. Dan makhluk tidaklah pantas disebut dengan Tuhan, dan tidak pantas pula dipertuhankan. Tidak ada sifat-sifat ketuhahan yang terdapat dalam puisi, bahkan menyerupai sifat-sifat ketuhanan sekalipun tidak sedikitpun menyerupai. Maha suci Allah dari segala bentuk penyerupaan! Oleh karena puisi adalah hasil inspirasi, daya akal manusia, maka ia bukan pula ilham apalagi wahyu. Lantaran ia bukan wahyu, maka tidak ada kebenaran mutlak di dalamnya.


Inspirasi masih berada pada tataran akal, namun ilham dan wahyu berada tataran transdental ilahiyyah. Pada prakteknya, akal masih melakukan pertarungan dengan nafsu angkara murka. Terkadang akal yang menang terhadap nafsu, dan sebaliknya nafsu yang menguasai akal. Lantaran puisi adalah karya akal manusia, maka ia semata-mata tidak akan mampu menunjukkan kepada cahaya kebenaran ilahiyah, sebab masih ada kabut nafsu yang menyilimutinya. Dengan demkian, ketika puisi 'dipertuhankan' , maka jadilah ia budak akal dan sekaligus nafsunya. Inilah alasannya mengapa Imam al-Ghazali menentang pemikiran Ibnu Araby yang menempatkan logika diatas wahyu. Wallahu'alam.


Sumber inspirasi :

-Al-Qur'an al-Karim

-Fasaid al-Aqidah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary

-Tahafut Falasifah, Imam Ghazali.

- Manahij Naqd al-Adab, Dr. Shalah Fadhil.

-Asalib as-Sya'ri al-Mu'ashir, Dr. Shalah Fadhil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar